Jumat, 17 November 2017

Jalani Saja

Sekeras apapun aku mencoba memasuki hatimu dan menetap disana, tidak pasti aku akan kau cintai, aku akan kau miliki. Karena, kau akan tetap menganggapku asing. Yang tanpa izin dan seenakanya masuk ke hatimu. Lantas, kau akan membuangku jauh-jauh. Daripada begitu, bukankah lebih baik aku berada pada jarak aman, dengan mencontaimu dalam diam. Sebisa mungkin, aku harus ikhlas. Menerima semua yang terjadi padaku -darimu. Aku harus sadar bahwa setiap senyuman tidak dibalas dengan senyuman, perhatian dibalas perhatian, cinta dibalas cinta. Hanya saja, mengapa kau harus pergi, tanpa memastikan rasa di hati.

Lagi-lagi, aku sulit memahamimu. Sangat sulit sampai aku berpikir berulang-ulang. Aku hanya bingung. Aku yang tak paham atau kau yang tak mengerti?

Setidaknya, untuk perpisahan ini, aku ingin berterimakasih sudah mengajarkan banyak hal, memunculkan perasaan-perasaan baru yang tadinya tak pernah ada dalam hidupku. Kau memang menyakitiku pada akhirnya, tapi aku yakin bahwa kau memang benar baik. Sebenarnya, aku ingin bersamamu lebih lama, bahkan jika boleh sampai tua. Tapi, mau bagaimana lagi, kau lebih memasukkan dia, menggantikanku diantara kita. Aku pun tak punya hak untuk membuatmu tetap ada, memaksamu bersamaku. Aku tak punya kendali besar atas perasaanku. Tapi dari hal yang sama, aku masih mencintaimu. Meski kamu sudah bahagia dengan dirinya.

Aku sangat senang ketika cintaku dibalas dengan perasaan yang sama. Ketika aku menatapmu, kau menatapku dengan tatapan yang sama. Tak bisa dipungkiri bahwa aku sudah cukup bahagia, bahkan hanya dengan perlakuan kecil saja. Hanya saja sikapmu semakin kesini, tak ku temui sikap menspesialkan layaknya masa dulu yang pernah berlaku. Mungkin bagimu sama saja, namun yang aku rasakan semakin hari, semakin berbeda. Boleh aku menebak? Bahwa tidak ada aku pun, tak akan membuatmu sulit. Yang ada, dengan aku tak ada, kau melepas satu beban berat di pundakmu. Karena yang aku tahu, tak perlu punya aku untuk bahagia.

Rasanya, jika aku bisa pergi, aku akan pergi sejauh mungkin tanpa diminta lagi. Aku sudah lelah telah mempertaruhkan perasaanku, demimu. Hanya saja, aku tak tahu mengapa bisa secinta ini. Sampai untuk pergi pun, ku selalu berpikir dengan berulang. Aku sedikitnya paham bahwa kau tak punya alasan untuk bertahan. Karena bagimu aku tak sesuai harapan. Aku hanya mengecewakan. Dan datang selalu merepotkan. Terlebih lagi, masih banyak orang di luar sana yang lebih dari yang bisa aku tunjukkan. Aku harus bisa tahan. Bahkan untuk mengucapkan selamat pagi pun aku hanya seorang mantan.

Sebenarnya, setelah kepergianmu, aku tidak menghentikan seluruh perasaan yang tertuju. Aku hanya menutupinya, membungkusnya, agar hanya benci dan tak peduli yang terlihat dari luar.  Padahal jika boleh jujur, rasa sayang masih jadi porsi besar di hati. Dan rindu ada penyambung rasa itu agar tetap tumbuh dan berkembang hingga sekarang. Aku bukan ingin diperhatikan kamu. Hanya saja, kau harus tahu sakitnya pura-pura tak peduli dan tak mencintaimu. Mungkin benar, aku hanya salah satu penggemarmu.  Sekalipun aku berkata bahwa aku sangat jatuh cinta padamu. Kau akan tetap sama, dengan respon yang biasa saja. Karena pada dasarnya kita memang tak setara, kau terlalu jauh hatinya untuk kumiliki. Aku hanya tak tahu jalan pulang, setelah kau tinggalkan. Aku hanya kehabisan akal untuk menutupi luka yang kau berikan. Aku terus saja kesulitan, menahan rindu dalam kesesakkan. Dan yang aku bisa hanya menjagamu,  lewat diamku, di belakangmu, tanpa kau tahu.

Aku ingin membahas banyak hal denganmu. Aku ingin bercerita tentang hari-hari baikku. Aku ingin memangis di pundakmu. Dan berharap kau menenangkanku dengan kata-kata perhatian itu. Aku tahu, sudah terlambat sekali rasanya untuk berkata seperti ini. Dimana kau sudah jauh pergi. Dan aku masih ingin kau tetap disini. Sudah lama perpisahan ini terjadi, tapi tak terasa kau sudah pergi lama sekali. Dengan sakit yang sama, kecewa karena kau meninggalkanku. Hanya saja, aku rindu setiap hal yang kau lakukan untukku.  Candamu yang tidak lucu. Muka polosmu dengan penuh rasa bersalah padaku. Entah mengapa, itu membuatku merasa sangat amat nyaman berada di sampingmu. Jika kau tahu, aku masih berharap beberapa waktu ke belakang terjadi lagi. Saat-saat kau berkata ingin bersamaku sampai nanti.

Aku tuh mau benar-benar kamu kembali, tapi gimana bilangnya, ya?

Aku hanya ingin kesempatan itu. Kesempatan memilikimu, kesempatan mencintaimu, kesempatan bersamamu. Bukan kah tiap orang mempunyai kesempatan tersebut? Lalu, mengapa kau menghilangkannya untukku? Apa karena aku tak cukup denganmu? Atau tak sesuai dengan kriteriamu? Aku amat sangat ingin membicarakan hubungan ini, tapi aku pun punya ketakutan besar. Ketakutan ketika kau menjawab tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Aku harus bagaimana? Apa terus-terusan berpegang teguh pada kalimat, “Jalani Saja”? Ya.. Lukaku, mana penting bagimu.

Terima kasih sudah pernah sabar menghadapi sikap kekanak-kanakan, walau akhirnya kau tinggalkan. Tetapi sekali lagi terima kasih sudah mengajarkan si egois ini untuk lebih dewasa lagi.
Walau melepaskanmu bukan sekedar menyetujui apa yang kau inginkan, meng-iya-kan perpisahan. Tetapi lebih dari itu, aku harus melupakanmu, membiasakan hal yang baru, dan tidak mengusikmu dalam waktu yang singkat. Bayangkan saja betapa susahnya melakukan itu semua. Setelah hari yang kita lalui, setelah masalah yang kita hadapi, setelah kenangan yang kita jalani. Bukankah sulit untuk bersikap tidak peduli? Orang-orang sibuk berkata bahwa aku bodoh karena telah mencintaimu. Kata mereka, aku egois dan keras kepala karena tidak mendengarkan apa yang mereka katakan padaku.  Dan aku berani jamin, yang berkata seperti itu belum pernah merasakan jatuh cinta, secinta aku padanu. Karena bagiku, asal kamu saja tidak apa-apa.  Sikap dinginmu, kakumu,  bahkan pada hal-hal burukmu sekalipun, aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta, pada sepaket buruk-baikmu.

Dan hingga kini, pertanyaan selalu memutar. Apa aku membuatmu malu? Sebab itu kau tak mau mengenalkanku pada teman-temanmu. Apa hanya aku yang merasa senang atas hubungan kita, sedang kamu tidak? Apa hanya aku membuang-buang waktu saja, menganggap kamu mempunyai perasaan yang sama, padahal sebenarnya tidak? Aku ingin pergi, namun kau tarik kembali. Disaat aku ingin kau disini, tapi kau malah pergi. Dan sekarang aku ingin menetap, namun tak diberi tempat.

Aku tak tahu apa yang aku bicarakan. Aku tak tahu seberapa bodoh di hadapanmu. Aku hanya berpikir bahwa kau harus bahagia dengan segala macam cara. Ketika kau menangis pun,  sekuat tenaga harus aku yang membuat air mata itu reda. Sebab. aku hanya punya kamu diluar keluargaku. Aku hanya bercerita kepadamu, menangis dipundakmu, mempercayakan semuanya padamu. Kau sudah jadi andalanku. Bahkan sering sekali aku meminta banyak hal padamu. Menemaniku atau sekedar menghiburku. Hanya saja kita bisa berpisah. Tetapi, bolehkah aku berdoa, semoga kita (masih) bisa bersama-sama, nantinya?

Jumat, 28 Juli 2017

Selamat Tinggal

Ada sebuah janji yang tak pernah bisa lagi ditepati, karena kita memilih pergi. Satu yang memecahkan diri, berpisah haluan, mengucapkan selamat tinggal karena sudah menemukan kebahagiaan yang lain. Dan satunya lagi yang tersakiti, terlalu mencintai, tak terima dengan realita yang menyuguhkan luka lalu memilih untuk mengasingkan diri.

Aku tahu bahwa perpisahan selalu menyakitkan. Tapi tidak ada yang bisa mencegah kedatangannya, tidak ada yang tahu kapan dia tiba dan tidak ada yang menginginkannya. Jika saja bisa, aku mau tetap tinggal. Jika saja bisa, aku tidak ingin menyakiti siapa-siapa. Jika saja bisa, aku ingin terus bersama. Jika saja bisa, aku tidak mau ada perpisahan. Karena perpisahan itu menjauhkan. Semanis apapun, sebaik apapun bentuknya, perpisahan hanya akan mengasingkan kita. Lalu, untuk apa bertemu, jika akhirnya berpisah?

Aku masih mencintaimu.
Masih sampai detik dimana kamu mengecup keningku, masih sampai detik dimana kamu sibuk dengan duniamu, masih sampai detik dimana kamu berhenti memusatkan hatimu untukku, masih sampai detik dimana kamu lupa dengan segala perjuanganmu dan aku, masih sampai detik dimana kamu menghilangkan ritual-ritual manis kita, masih sampai detik dimana kakimu pelan-pelan mulai menjauh, masih sampai detik dimana kamu benar-benar berubah dan memilih pergi. Dan masih sampai detik ini, aku mencintaimu. Karena itulah hatiku begitu pedih dengan perpisahan yang tak ingin kutuliskan skenarionya. 

Waktu tidak pernah bisa diputar kembali. Jika kamu memilih pergi, maka pergilah dan tolong jangan pernah kembali dengan segala keraguan hati. Untuk berdamai dengan kenyataan dan mengalah dengan penyangkalan, sungguh aku perlu waktu. Tapi setidaknya aku telah berani membiarkanmu pergi, merelakan agar hati tak dibuat berkeping lagi. Tentang hal yang hak patennya sudah tak bisa diubah, aku hanya bisa menerima bahwa kau sudah tak lagi cinta. Mungkin dari perpisahan ini, ada sebuah pertemuan yang sedang disiapkan lagi. Tidak apa-apa, karena segalanya sudah dikendalikan oleh yang lebih Ahli.

Berbahagialah.

Ini bukan ritual kata yang kuucapkan sebagai salam perpisahan yang dibuat agar terlihat sempurna. Tapi, sungguh aku ingin kamu bahagia. Karena pernah aku melihatmu tersenyum manis, tertawa lepas, saat kita jatuh cinta dan seperti surga rasanya. Dan jika aku tak bisa lagi membuatmu seperti itu, berbahagialah dengan yang bukan aku. Jatuh cintalah lagi, karena hatimu butuh. Jika kamu telah menemukan orang yang tepat, aku berdoa semoga perpisahan tak datang kepadamu. Karena sungguh, itu menyakitkan.

Aku pergi, aku akan segera menyebuhkan hati ini dengan segala janji yang kamu beri. Aku berjuang berdiri untuk menemukan bahagiaku sendiri. 


Selamat pergi, selamat tinggal. (di lain hati)

Minggu, 30 Oktober 2016

Perih Rasa Hati yang Patah

Untukmu yang sedang patah hati.

Aku bukan bermaksud tuk menggurui. Aku hanya ingin berbagi.
Semoga pesan singkat ini bermanfaat tuk dirimu, dan bisa mengobati luka hatimu.

Perihnya luka hati dari cerita yang kau alami, bukan salah siapa pun.
Maka,
jangan membenci.
jangan menyalahkan.
pada siapa pun.

Sudah sakit hati,
ditambah untuk membenci.
Semakin-makinlah keadaan rasamu itu.
Coba saja kau ubah sudut pandangmu.

Jadikan kisah luka ini, pembelajaran untuk diri.
Boleh jadi inilah cara Allah
untuk mendidikmu agar hatimu lebih kuat
menghadapi hari-hari ke depan saat yang tidak tepat.

Lebih kuat dalam merajut hubungan,
dengan seseorang yang telah ditakdirkan

Jangan berlarut tuk bersedih.
Segera berdamai dan memaafkan diri sendiri.
dan janji Allah, cobalah tuk kau yakini.
Semoga kekasih hati segera Allah jumpakan,
padamu.
Sang hamba Illahi.

Sabtu, 30 Juli 2016

Apalah Dayaku

Bukan aku tak menghargai, tapi diri ini saja yang lemah.



Apalah dayaku, manusia yang hidup di masa Islam sebagai buih
Iman yang rapuh.
Jiwa yang mudah galau.
Hati yang mudah berbalik pada hawa nafsu.
Aku, hanya manusia lemah yang coba untuk mengendalikannya.



Kendalikan lisanmu, lisanku.
Sebab, hati ini mudah lupa.
Pujianmu, gantilah dengan doa.
Doakan aku agar dapat hidayah. Mudah istiqamah.
dalam ketaatan.
Sebab, diam dalam doamu, kembali padamu.
Dan, kelak depanmu, depanku, berjalan bersama.



Jagalah pujianmu. Sungguh. Diri ini tak sanggup. Bersembunyi.
Bersembunyi dari banyaknya aib yang ditutupi oleh-Nya.

Dan Ali bin Abi Thalib saja berkata, "Kalau ada yang memuji dirimu di hadapanmu,
akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu, dari kamu terbuai oleh pujiannya."

Minggu, 26 Juni 2016

Ratusan Hari dalam Doa

Ratusan hari sudah kita lewati. Tidak ada yang terlalu lama, atau pun terburu-buru. Seharusnya seperti itu, kan? Seimbang. Ratusan hari sudah kita jalani. Tepat di detik pertama kamu menemukanku, skenario Tuhan mulai bekerja dengan luar biasa. Tepat di detik pertama kamu mengetahui namaku, seolah-olah ada sebuah ijin yang kukantongi untuk mengenalmu lebih jauh. Tepat di detik pertama percakapan kita tercipta, ada alur lincah yang menari untuk membuat kita tetap terjaga dalam kata. Tepat di detik pertama kamu memulai segalanya. Tepat di detik pertama, ada rahasia manis milik semesta yang tak pernah bisa diterka oleh kepala.

Ratusan hari sudah berlalu dari pandangan, namun doa-doa masih terus dipanjatkan untuk sebuah kebahagiaan di masa depan. Ratusan hari sudah pergi dari lintasan, hingga akhirnya aku bersyukur kalau kita telah dipertemukan. Ratusan hari pernah kita cicipi. Dan kini, dengan mudah kamu menciptakan rona pada pipi, dengan mudah kita melupa tentang hal-hal pahit yang sempat meretakkan hati, yang pernah hadir lewat spion masa lalu. Ratusan hari sudah kita tapaki, namun masih ada ketidakpastian tentang isi hati. Tentang bagaimana perasaan kita sebenar-benarnya. Satu yang aku tahu, kita adalah racikan sederhana yang telah Tuhan rencanakan. Racikan bernama kebahagiaan. Racikan yang mampu menarik lekuk-lekuk senyum yang beredar di sekeliling kita.

Permulaan itu kugarisbawahi dengan tebal. Pertemuan itu kucatat berulang-ulang. Ada sesuatu yang belum kumiliki, sudah kusyukuri, namun enggan kulepaskan. Entah kapan, sejarah kita bisa dideklarasikan di depan seisi semesta. Entah kapan, aku bisa dengan lantang mengutarakan bahwa kamulah satu-satunya. Bahwa kamulah yang aku cinta. Bahwa segala sesuatunya terasa luar biasa, sesederhana ketika kamu ada. Namun, sejak bertemu denganmu pemikiranku berubah seratus delapan puluh derajat. Ada hati yang semakin dewasa, semakin mengerti, semakin paham untuk mengolah cinta. Ada hati yang lebih tegar, lebih mempercayai bahwa Tuhan lebih ahli merencanakan segala sesuatunya. Ada hati yang libur panjang untuk bersedih dan ada hati yang sudah tak pernah ingin khawatir terhadap apapun. Karena ia percaya, segalanya akan baik-baik saja.

Aku bermimpi memiliki satu hari yang tak pernah habis kunikmati bersamamu. Satu hari yang tak pernah selesai. Satu haru yang mengandeng hari-hari lain untuk mengikat kita dalam doa. Menjaga kita dari kecewa. Menghindarkan kita dari luka. Satu hari yang membebaskan segala rasa takut. Karena bersamamu, itulah inginku. Mulailah terus mengirimkan bahagia. Ciptakanlah hal-hal manis agar kepalaku tak bosan mengingatnya. Mulailah jadi yang pertama melakukan segalanya untukku dan yang terakhir yang takkan melepaskanku. Mulailah segalanya tanpa sebuah akhir. Mulailah di waktu yang tepat, di detik yang Tuhan ijinkan. Aku akan menunggu, jikalau kamu memperbolehkannya.

Aku memelukmu dalam doa. Selamat bulan kelima, manis. Aku mencintaimu

Rabu, 08 Juni 2016

Kalau Kita Bertengkar

Untuk kamu yang suatu hari tak terprediksi,

Cinta adalah teka-teki. Dan perjalanan hati, tidak ada yang bisa memprediksi. Tidak ada yang ahli, karena cinta bisa membuat siapapun jatuh berulang kali. Esok hari masih terlalu rahasia untuk dicicipi. Janji seolah ikatan yang tak abadi, karena siapapun bisa lupa, bisa lalai tak menjaga, pun tak mampu lagi untuk menepati. Janji seolah ketakutan bagi mereka yang tak berani mempertahankan sampai akhir. Hanya ada hati yang perlu dilatih lebih kuat, lebih berhati-hati, lebih menjaga yang dicintainya.

Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Bahkan aku lebih dulu memilihmu sebelum kamu mengutarakan rasa. Mungkin sebelum perjumpaan kita, Tuhan sudah merencanakan agar kita saling mencinta. Itu adalah salah satu rahasia-Nya, yang tak bisa diterka oleh tolak ukur logika. Mungkin aku tak sering mengucapkan kalimat ini. Tapi kali ini ingin ku bisikan lewat secarik aksara dalam surat yang entah kapan kau baca. Aku mencintaimu dan semoga selalu begitu. Karena sungguh aku tak bisa mengintip hari esok. Ada jarak yang terlalu jauh, yang tak bisa kita tempuh.

Ketahuilah hal itu. Karena jika suatu hari lahir sebuah pertengkaran di antara kita, aku tak ingin ada rasa yang tersapu. Karena jika suatu hari kau memalingkan wajah dariku, tolong jangan sangkal hatimu. Utarakan saja, keluarkan saja sesak yang menyangga hatimu, tapi jangan pergi. Jika suatu hari ada kekecewaan yang tiba-tiba mendatangi, janganlah malu untuk mengirimkan maaf terlebih dahulu. Dan jika suatu hari ada salah satu dari kita yang tak mampu mencegah luka, janganlah memilih untuk berpisah jalan. Ingatlah perjumpaan kita, perjalanan cinta dan rasa yang masih ada.

Kamu butuh menyendiri, tapi tidak dengan melepasku pergi. Kamu butuh menyembuhkan hati, tapi ijinkanlah aku yang mengobati. Jangan ijinkan gengsi yang menghuni hati, karena aku takut ia yang akan mengusirku dari kediamanmu.

Aku mencintaimu, jangan terlalu lama membisu, cepat peluk aku.

Rabu, 30 Maret 2016

Sebuah Paket

Untukmu yang telah mengirimkannya

Sebuah paket kuterima pagi ini, paket yang terlalu dini. Sesuatu yang tak pernah ku minta, tapi Sang Pengirim lebih mengerti waktu yang lebih tepat untuk memberikannya. Mungkin Dia tahu aku sudah siap menerimanya, mungkin Dia tahu kalau aku membutuhkannya. Mungkin Dia tahu kalau dua lebih baik daripada satu.

Sepaket yang jauh dari sempurna. Bingkisannya hanya dibalut oleh kesederhanaan. Diisi oleh hati yang utuh, senyuman yang dapat membuat hatiku luluh, tawa yang membuat awan kelabu dalam hari-hariku lumpuh, dan perjalanan pikirannya yang begitu ingin ku telusuri. Kabut asing yang menyelimutinya kini luput oleh sebuah perkenalan. Lewat peristiwa-peristiwa buatan Dia yang begitu magis, sekaligus manis. Ikatan-ikatan lain pun mendekatkan lewat berulang kali pertemuan. Aku hanya belum tahu kalau paket itu akan benar-benar sampai ke rumah yang tepat; hatiku.

Di atas paket itu tertulis nama yang tidak begitu asing, nama yang selalu membuat telingaku jeli saat semesta membicarakannya, nama yang begitu mudah memberikan kebahagiaan, nama yang membuat kekagumanku begitu pekat. Sepaket yang begitu manis sudah tiba di depanku. Satu hal yang terlintas di kepala saat menemukannya, "Aku ingin menjaganya".

Terimakasih sudah mengirimkan pria ini untuk kujaga hatinya. Terimakasih sudah memilihku sebagai perempuannya. Terimakasih telah mempersatukan kami, Tuhan. Terimakasih karena kau telah mengerti, jauh lebih mengerti dari apa yang biasa kepala terima. Terimakasih untuk paket-paket masa lalu yang pernah kau pindahkan haluan, karena kini aku sudah benar-benar menemukan yang terbaik. Terimakasih untuk cinta yang masih tersedia untuk kami berdua. Tuhan, tetaplah menjadi perantara.



Dari yang berbahagia